HIPERTENSI

Senin, 14 Juni 2010

A. Pengertian
Hipertensi adalah peningkatan abnormal pada tekanan sistolik 140 mm Hg
atau lebih dan tekanan diastolic 120 mmHg (Sharon, L.Rogen, 1996).
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik lebih dari 140 mmHG
dan tekanan darah diastolic lebih dari 90 mmHG (Luckman Sorensen,1996).
Hipertensi adalah suatu keadaan dimana terjadi peningkatan tekanan darah
sistolik 140 mmHg atau lebih dan tekanan darah diastolic 90 mmHg atau
lebih. (Barbara Hearrison 1997)
Dari ketiga definisi diatas dapat disimpulkan bahwa hipertensi adalah
peningkatan tekanan darah yang abnormal dengan sistolik lebih dari 140
mmHg dan diastolic lebih dari 90 mmHg.

B. Etilogi.
Pada umunya hipertensi tidak mempunyai penyebab yang spesifik. Hipertensi terjadi sebagai respon peningkatan cardiac output atau peningkatan tekanan perifer
Namun ada beberapa factor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi:
1. Genetik: Respon nerologi terhadap stress atau kelainan eksresi atau
transport Na.
2. Obesitas: terkait dengan level insulin yang tinggi yang mengakibatkan
tekanan darah meningkat.
3. Stress Lingkungan
4. Hilangnya Elastisitas jaringan and arterisklerosis pada orang tua serta
pelabaran pembuluh darah.
Berdasarkan etiologinya Hipertensi dibagi menjadi 2 golongan yaitu:
1. Hipertensi Esensial (Primer)
Penyebab tidak diketahui namun banyak factor yang mempengaruhi seperti genetika, lingkungan, hiperaktivitas, susunan saraf simpatik, system
rennin angiotensin, efek dari eksresi Na, obesitas, merokok dan stress.
2. Hipertensi Sekunder
Dapat diakibatkan karena penyakit parenkim renal/vakuler renal. Penggunaan kontrasepsi oral yaitu pil. Gangguan endokrin dll.

C. Patofisiologi
Menurunnya tonus vaskuler meransang saraf simpatis yang diterukan ke sel jugularis. Dari sel jugalaris ini bias meningkatkan tekanan darah. Dan apabila diteruskan pada ginjal, maka akan mempengaruhi eksresi pada rennin yang berkaitan dengan Angiotensinogen. Dengan adanya perubahan pada angiotensinogen II berakibat pada terjadinya vasokontriksi pada pembuluh darah, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah.
Selain itu juga dapat meningkatkan hormone aldosteron yang menyebabkan retensi natrium. Hal tersebut akan berakibat pada peningkatan tekanan darah. Dengan Peningkatan tekanan darah maka akan menimbulkan kerusakan pada organ organ seperti jantung.

Sistem renin angiotensin

BP


Reduced renin angiotensin substrate (liver)


Distal
Tubular sodium
(ginjal) angiotensin I

convering enzim (paru)

angiotensin II angiotensin III


vasokonstriksi aldosteron secretion


 tahanan perifer retensi sodium dan air



 BP




D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada klien dengan hipertensi adalah meningkatkan
tekanan darah > 140/90 mmHg, sakit kepala, epistaksis, pusing/migrain,
rasa berat ditengkuk, sukar tidur, mata berkunang kunang, lemah dan lelah,
muka pucat suhu tubuh rendah.

E. Komplikasi
Organ organ tubuh sering terserang akibat hipertensi anatara lain mata
berupa perdarahan retina bahkan gangguan penglihatan sampai kebutaan,
gagal jantung, gagal ginjal, pecahnya pembuluh darah otak.


F. Penatalaksanaan Medis
Penanggulangan hipertensi secara garis besar dibagi menjadi dua jenis
penatalaksanaan:
1. Penatalaksanaan Non Farmakologis.
a. Diet
Pembatasan atau pengurangan konsumsi garam. Penurunan BB dapat menurunkan
tekanan darah dibarengi dengan penurunan aktivitas rennin dalam plasma dan
kadar adosteron dalam plasma.
b. Aktivitas.
Klien disarankan untuk berpartisipasi pada kegiatan dan disesuaikan dengan
batasan medis dan sesuai dengan kemampuan seperti berjalan, jogging,
bersepeda atau berenang.

2. Penatalaksanaan Farmakologis.
Secara garis besar terdapat bebrapa hal yang perlu diperhatikan dalam
pemberian atau pemilihan obat anti hipertensi yaitu:
a. Mempunyai efektivitas yang tinggi.
b. Mempunyai toksitas dan efek samping yang ringan atau minimal.
c. Memungkinkan penggunaan obat secara oral.
d. Tidak menimbulakn intoleransi.
e. Harga obat relative murah sehingga terjangkau oleh klien.
f. Memungkinkan penggunaan jangka panjang.
Golongan obat - obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti golongan diuretic, golongan betabloker, golongan antagonis kalsium,
golongan penghambat konversi rennin angitensin.

G. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas/ Istirahat.
Gejala : kelemahan, letih, nafas pendek, gaya hidup monoton.
Tanda :Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung, takipnea.
b. Sirkulasi
Gejala :Riwayat Hipertensi, aterosklerosis, penyakit jantung koroner/katup
dan penyakit cebrocaskuler, episode palpitasi.
Tanda :Kenaikan TD, Nadi denyutan jelas dari karotis, jugularis,
radialis, tikikardi, murmur stenosis valvular, distensi vena jugularis,
kulit pucat, sianosis, suhu dingin (vasokontriksi perifer) pengisian
kapiler mungkin lambat/ bertunda.
c. Integritas Ego.
Gejala :Riwayat perubahan kepribadian, ansietas, factor stress multiple
(hubungan, keuangan, yang berkaitan dengan pekerjaan.
Tanda :Letupan suasana hat, gelisah, penyempitan continue perhatian,
tangisan meledak, otot muka tegang, pernafasan menghela, peningkatan pola bicara.
d. Eliminasi
Gejala : Gangguan ginjal saat ini atau (seperti obstruksi atau riwayat
penyakit ginjal pada masa yang lalu.)
e. Makanan/cairan
Gejala: Makanan yang disukai yang mencakup makanan tinggi garam, lemak serta kolesterol, mual, muntah dan perubahan BB akhir akhir ini (meningkat/turun) Riowayat penggunaan diuretic
Tanda: Berat badan normal atau obesitas,, adanya edema, glikosuria.
f. Neurosensori
Genjala: Keluhan pening pening/pusing, berdenyu, sakit kepala, subojksipital (terjadi saat bangun dan menghilangkan secara spontan
setelah beberapa jam) Gangguan penglihatan (diplobia, penglihatan kabur,
epistakis).
Tanda: Status mental, perubahan keterjagaan, orientasi, pola/isi bicara,
efek, proses piker, penurunan keuatan genggaman tangan.
g. Nyeri/ ketidaknyaman
Gejala: Angina (penyakit arteri koroner/ keterlibatan jantung),sakit
kepala.
h. Pernafasan
Gejala: Dispnea yang berkaitan dari kativitas/kerja takipnea,
ortopnea,dispnea, batuk dengan/tanpa pembentukan sputum, riwayat merokok.
Tanda: Distress pernafasan/penggunaan otot aksesori pernafasan bunyi
nafas tambahan (krakties/mengi), sianosis.
i. Keamanan
Gejala: Gangguan koordinasi/cara berjalan, hipotensi postural.
j. Pembelajaran/Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga: hipertensi, aterosporosis, penyakit
jantung, DM.
k. Faktor faktor etnik seperti: orang Afrika-amerika, Asia Tenggara,
penggunaan pil KB atau hormone lain, penggunaan alcohol/obat.
l. Test diagnostic.
1) Hb/Ht : untuk mengkaji hubungan dari sel-sel terhadap volume cairan
(viskositas) dan dapat mengindikasikan factor resiko seperti : hipokoagulabilitas, anemia.
2) BUN / kreatinin : memberikan informasi tentang perfusi / fungsi ginjal.
3) Glucosa : Hiperglikemi (DM adalah pencetus hipertensi) dapat
diakibatkan oleh pengeluaran kadar ketokolamin.
4) Urinalisa : darah, protein, glukosa, mengisaratkan disfungsi ginjal dan
ada DM.
5) CT Scan : Mengkaji adanya tumor cerebral, encelopati
6) EKG : Dapat menunjukan pola regangan, dimana luas, peninggian gelombang P adalah salah satu tanda dini penyakit jantung hipertensi.
7) IUP : mengidentifikasikan penyebab hipertensi seperti : Batu ginjal,
perbaikan ginjal.
8) Poto dada : Menunjukan destruksi kalsifikasi pada area katup,
pembesaran jantung.

2. Diagnosa keperawatan


DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
Resiko tinggi penurunan curah jantung berhubungan dengan vasokontriksi
pembuluh darah. Klien berpartisifasi dalam aktivitas yang menurunkan tekanan darah / beban
kerja jantung ,
a. Mempertahankan TD dalam rentang individu yang dapat
diterima,
b. memperlihatkan norma dan frekwensi jantung stabil dalam rentang
normal pasien 1. Observasi tekanan darah (perbandingan dari tekanan memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang keterlibatan / bidang masalah vaskuler).
2. Catat keberadaan, kualitas denyutan sentral dan perifer (Denyutan karotis,jugularis, radialis dan femoralis mungkin teramati / palpasi) Dunyut pada tungkai mungkin menurun, mencerminkan efek dari vasokontriksi (peningkatan SVR) dan kongesti vena).
3. Auskultasi tonus jantung dan bunyi napas. (S4 umum terdengar pada pasien hipertensi berat karena adanya hipertropi atrium, perkembangan S3 menunjukan hipertropi ventrikel dan kerusakan fungsi, adanya krakels, mengi dapat mengindikasikan kongesti paru sekunder terhadap terjadinya
atau gagal jantung kronik).
4. Amati warna kulit, kelembaban, suhu, dan masa pengisian kapiler.
(adanya pucat, dingin, kulit lembab dan masa pengisian kapiler lambat mencerminkan dekompensasi / penurunan curah jantung).
5. Catat adanya demam umum / tertentu. (dapat mengindikasikan gagal jantung, kerusakan ginjal atau vaskuler).
6. Berikan lingkungan yang nyaman, tenang, kurangi aktivitas / keributan ligkungan, batasi jumlah pengunjung dan lamanya tinggal. (membantu untuk menurunkan rangsangan simpatis, meningkatkan relaksasi).
7. Anjurkan teknik relaksasi, panduan imajinasi dan distraksi. (dapat menurunkan rangsangan yang menimbulkan stress, membuat efek tenang, sehingga akan menurunkan tekanan darah).
8. Kolaborasi dengan dokter dlam pembrian therafi anti
hipertensi,deuritik. (menurunkan tekanan darah).
Intoleransi aktivitas berhubungan dengan
o kelemahan umum,
o ketidak
seimbangan antara suplai dan kebutuhan O2.
Klien dapat berpartisipasi dalam aktivitas yang di inginkan / diperlukan,
Kriteria Evaluasi :
o melaporkan peningkatan dalam toleransi aktivitas yang dapat diukur.
1. Kaji toleransi pasien terhadap aktivitas dengan menggunkan parameter : frekwensi nadi 20 per menit diatas frekwensi istirahat, catat peningkatan TD, dipsnea, atau nyeridada, kelelahan berat dan kelemahan, berkeringat,
pusig atau pingsan. (Parameter menunjukan respon fisiologis pasien
terhadap stress, aktivitas dan indicator derajat pengaruh kelebihan kerja
/ jantung).
2. Kaji kesiapan untuk meningkatkan aktivitas contoh : penurunan kelemahan / kelelahan, TD stabil, frekwensi nadi, peningkatan perhatian pada aktivitas dan perawatan diri. (Stabilitas fisiologis pada istirahat
penting untuk memajukan tingkat aktivitas individual).
3. Dorong memajukan aktivitas / toleransi perawatan diri. (Konsumsi oksigen miokardia selama berbagai aktivitas dapat meningkatkan jumlah oksigen yang ada. Kemajuan aktivitas bertahap mencegah peningkatan
tiba-tiba pada kerja jantung).
4. Berikan bantuan sesuai kebutuhan dan anjurkan penggunaan kursi mandi, menyikat gigi / rambut dengan duduk dan sebagainya. (teknik penghematan energi menurunkan penggunaan energi dan sehingga membantu keseimbangan
suplai dan kebutuhan oksigen).
5. Dorong pasien untuk partisifasi dalam memilih periode aktivitas.
(Seperti jadwal meningkatkan toleransi terhadap kemajuan aktivitas dan
mencegah kelemahan).

Gangguan rasa nyaman nyeri : sakit kepela berhubungan dengan
o peningkatan
tekanan vaskuler cerebral.
Melaporkan nyeri / ketidak nyamanan tulang / terkontrol,
Krieria Evaluasi :
o mengungkapkan
metode yang memberikan pengurangan,
o mengikuti regiment farmakologi yang
diresepkan 1. Pertahankan tirah baring selama fase akut. (Meminimalkan stimulasi / meningkatkan relaksasi).
2. Beri tindakan non farmakologi untuk menghilangkan sakit kepala, misalnya : kompres dingin pada dahi, pijat punggung dan leher serta teknik relaksasi. (Tindakan yang menurunkan tekanan vaskuler serebral dengan
menghambat / memblok respon simpatik, efektif dalam menghilangkan sakit kepala dan komplikasinya).
3. Hilangkan / minimalkan aktivitas vasokontriksi yang dapat meningkatkan sakit kepala : mengejan saat BAB, batuk panjang,dan membungkuk. (Aktivitas yang meningkatkan vasokontriksi menyebabkan sakit kepala pada adanya peningkatkan tekanan vakuler serebral).
4. Bantu pasien dalam ambulasi sesuai kebutuhan (Meminimalkan penggunaan oksigen dan aktivitas yang berlebihan yang memperberat kondisi klien).
5. Beri cairan, makanan lunak. Biarkan klien itirahat selama 1 jam setelah makan. (menurunkan kerja miocard sehubungan dengan kerja pencernaan).
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat analgetik, anti ansietas, diazepam dll. (Analgetik menurunkan nyeri dan menurunkan rangsangan saraf
simpatis).
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
o intake
nutrisi in adekuat,
o keyakinan budaya,
o pola hidup monoton.
klien dapat mengidentifikasi hubungan antara hipertensi dengan kegemukan,
Kriteria Evaluasi :
o menunjukan perubahan pola makan,
o melakukan / memprogram olah raga yang
tepat secara individu.
1. Kaji emahaman klien tentang hubungan langsung antara hipertensi dengan kegemukan. (Kegemukan adalah resiko tambahan pada darah tinggi, kerena disproporsi antara kapasitas aorta dan peningkatan curah jantung berkaitan dengan masa tumbuh).
2. Bicarakan pentingnya menurunkan masukan kalori dan batasi masukan lemak, garam dan gula sesuai indikasi. (Kesalahan kebiasaan makan menunjang
terjadinya aterosklerosis dan kegemukan yang merupakan predisposisi untuk hipertensi dan komplikasinya, misalnya, stroke, penyakit ginjal, gagal jantung, kelebihan masukan garam memperbanyak volume cairan intra vaskuler dan dapat merusak ginjal yang lebih memperburuk hipertensi).
3. Tetapkan keinginan klien menurunkan berat badan. (motivasi untuk penurunan berat badan adalah internal. Individu harus berkeinginan untuk menurunkan berat badan, bila tidak maka program sama sekali tidak berhasil).
4. Kaji ulang masukan kalori harian dan pilihan diet.(mengidentivikasi
kekuatan / kelemahan dalam program diit terakhir. Membantu dalam menentukan kebutuhan inividu untuk menyesuaikan / penyuluhan).
5. Tetapkan rencana penurunan BB yang realistic dengan klien, Misalnya : penurunan berat badan 0,5 kg per minggu. (Penurunan masukan kalori seseorang sebanyak 500 kalori per hari secara teori dapat menurunkan berat badan 0,5 kg / minggu. Penurunan berat badan yang lambat mengindikasikan
kehilangan lemak melalui kerja otot dan umumnya dengan cara mengubah kebiasaan makan).
6. Dorong klien untuk mempertahankan masukan makanan harian termasukkapan
dan dimana makan dilakukan dan lingkungan dan perasaan sekitar saat makanan dimakan. (memberikan data dasar tentang keadekuatan nutrisi yang dimakan dan kondisi emosi saat makan, membantu untuk memfokuskan perhatian pada factor mana pasien telah / dapat mengontrol perubahan).
7. Intruksikan dan Bantu memilih makanan yang tepat , hindari makanan dengan kejenuhan lemak tinggi (mentega, keju, telur, es krim, daging dll) dan kolesterol (daging berlemak, kuning telur, produk kalengan,jeroan).
(Menghindari makanan tinggi lemak jenuh dan kolesterol penting dalam mencegah perkembangan aterogenesis).
8. Kolaborasi dengan ahli gizi sesuai indikasi. (Memberikan konseling dan bantuan dengan memenuhi kebutuhan diet individual).
Inefektif koping individu berhubungan dengan
o mekanisme koping tidak
efektif,
o harapan yang tidak terpenuhi,
o persepsi tidak realistic.
Mengidentifikasi perilaku koping efektif dan konsekkuensinya,
Kriteria Evaluasi :
o menyatakan
kesadaran kemampuan koping / kekuatan pribadi,
o mengidentifikasi potensial
situasi stress dan mengambil langkah untuk menghindari dan mengubahnya.
1. Kaji keefektipan strategi koping dengan mengobservasi perilaku, Misalnya : kemampuan menyatakan perasaan dan perhatian, keinginan
berpartisipasi dalam rencana pengobatan. (Mekanisme adaptif perlu untuk megubah pola hidup seorang, mengatasi hipertensi kronik dan mengintegrasikan terafi yang diharuskan kedalam kehidupan sehari-hari).
2. Catat laporan gangguan tidur, peningkatan keletihan, kerusakan
konsentrasi, peka rangsangan, penurunan toleransi sakit kepala, ketidak mampuan untuk mengatasi / menyelesaikan masalah. (Manifestasi mekanisme
koping maladaptive mungkin merupakan indicator marah yang ditekan dan diketahui telah menjadi penentu utama TD diastolic).
3. Bantu klien untuk mengidentifikasi stressor spesifik dan kemungkinan strategi untuk mengatasinya. (pengenalan terhadap stressor adalah langkah
pertama dalam mengubah respon seseorang terhadap stressor).
4. Libatkan klien dalam perencanaan perwatan dan beri dorongan partisifasi maksimum dalam rencana pengobatan. (keterlibatan memberikan klien perasaan kontrol diri yang berkelanjutan. Memperbaiki keterampilan koping, dan dapat menigkatkan kerjasama dalam regiment teraupetik.
5. Dorong klien untuk mengevaluasi prioritas / tujuan hidup. Tanyakan
pertanyaan seperti : apakah yang anda lakukan merupakan apa yang anda inginkan ?. (Fokus perhtian klien pada realitas situasi yang relatif terhadap pandangan klien tentang apa yang diinginkan. Etika kerja keras,
kebutuhan untuk kontrol dan focus keluar dapat mengarah pada kurang perhatian pada kebutuhan-kebutuhan personal).
6. Bantu klien untuk mengidentifikasi dan mulai merencanakan perubahan
hidup yang perlu. Bantu untuk menyesuaikan ketibang membatalkan tujuan diri / keluarga. (Perubahan yang perlu harus diprioritaskan secara realistic untuk menghindari rasa tidak menentu dan tidak berdaya).

Kurang pengetahuan mengenai kondisi penyakitnya berhubungan dengan kurangan kurangnya informasi
Kriteria hasil
o Menyatakan pemahaman tentang proses penyakit dan regiment pengobatan.
o Mengidentifikasi efek samping obat dan kemungkinan komplikasi yang
perlu diperhatikan.
o Mempertahankan TD dalam parameter normal.
1. Bantu klien dalam mengidentifikasi factor-faktor resiko kardivaskuler yang dapat diubah, misalnya : obesitas, diet tinggi lemak jenuh, dan kolesterol, pola hidup monoton, merokok, dan minum alcohol (lebih dari 60 cc / hari dengan teratur) pola hidup penuh stress. (Faktor-faktor resiko ini telah menunjukan hubungan dalam menunjang hipertensi dan penyakit kardiovaskuler serta ginjal).
2. Kaji kesiapan dan hambatan dalam belajar termasuk orang terdekat. (kesalahan konsep dan menyangkal diagnosa karena perasaan sejahtera yang sudah lama dinikmati mempengaruhi minimal klien / orang terdekat untuk mempelajari penyakit, kemajuan dan prognosis. Bila klien tidak menerima realitas bahwa membutuhkan pengobatan kontinu, maka perubahan perilaku
tidak akan dipertahankan).
3. Kaji tingkat pemahaman klien tentang pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut. (mengidentivikasi tingkat pegetahuan tentang proses penyakit hipertensi dan mempermudah dalam menentukan intervensi).
4. Jelaskan pada klien tentang proses penyakit hipertensi (pengertian, penyebab, tanda dan gejala, pencegahan, pengobatan, dan akibat lanjut) melalui penkes. (Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan klien tentang proses penyakit hipertensi).

ASKEP FRAKTUR

Kamis, 10 Juni 2010

A. Pengertian
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. (Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing. Linda Juall C)
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smelter & Bare, 2002).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price, 1995).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang patologis (Barret dan Bryant, 1990).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi (Doenges, 2000).

B. Etiologi
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.(Oswari E, 1993)

Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
Jenis Fraktur

Berdasarkan sifat fraktur
1. Fraktur tertutup
Apabila fagmen tulang yang patah tidak tampak dari luar, Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
2. Fraktur terbuka
Apabila fragmen tulang yang patah tampak dari luar

Berdasarkan komplit / tidak komplit fraktur
1. Fraktur komplit : Patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran bergeser dari posisi normal)
2. Fraktur inkomplit : Patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang
Berdasarkan bentuk garis patah & hubungan dengan mekanisme tauma
Fraktur transversal ; Arah melintang dan merupakan akibat trauma angulasi / langsung
3. Fraktur oblik ; Arah garis patah membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma langsung
4. Fraktur spiral ; Arah garis patah spiral dan akibat dari trauma rotasi
5. Fraktur kompresi ; Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang)
6. Fraktur komunitif ; Fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
Fraktur depresi
7. Fraktur dengan bentuk fragmen terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah).
8. Fraktur patologik ; Fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang, tumor, metastasis tulang).
9. Fraktur avulsi ; Tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada perlekatannya.

Berdasarkan jumlah garis patah.
1. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.

Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1. Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2. Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a. Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b. Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c. Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
d. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
2. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
3. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
(Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995)

C. Patofisiologi


Retensi Kontraksi otot yang Dorongan tidak Faktor lain
Kuat langsung



Psikologis

Trauma jaringan tubuh Kerusakan integritas kulit

Luka Kontaminasi lingkungan luar

Rangsangan untuk mengeluarkan
Zat bradikinin, histamin, prostaglandin
Serotin menuju thalamus

Nyeri

Pembatasan gerak

Aktifitas minimal

Defisit perawatan diri


D. Fisiologi Penyembuhan Tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)

E. Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.(Black, J.M, et al, 1993)
F. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a. Keluhan UtamaPada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Biasanya digunakan :
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.(Ignatavicius, Donna D, 1995)
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995)
f. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
g. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
h. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
i. Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).
j. Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
k. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
keadaan umum dikaji secara head to toe, mulai dari kepala sampai ujung kaki.
2) Keadaan Lokal
Hal ini harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
(4) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.


c) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.(Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi.
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
5) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.(Ignatavicius, Donna D, 1995)
3. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d trauma jaringan syaraf
b. Ansietas b/d adanya ancaman terhadap konsep diri/citra diri


G. DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.

Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.

Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.

Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.

Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.

Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.

Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.

Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.

Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.

Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.

Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.

Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.

Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.

SYOK

Rabu, 09 Juni 2010

A. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan otot jantung (Mansjoer, 1999).
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakckupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif (Ashadi, 1999).

B. Etiologi
1. Syok Hipovolemik
• Kehilangan darah/syok hemoragik
 Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
 Hemoragik internal : hematoma, hematoraks/himoperitoneum
• Kehilangan plasma
 Luka bakar
 Dermatitis eksfoliatif
• Kehilangan cairan dan elektrolit
 Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebihan
 Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
• Disritmia
• Kegagalan pompa jantung
• Disfungsi katup akut
• Ruptur septum ventrikel
3. Syok Obstruktif
• Tension pneumothorax
• Penyakit perikardium
• Penyakit pembuluh darah paru
• Tumor jantung (miksoma atrial)
• Trombus mural atrium kiri
• Penyakit katup obstruktif
4. Syok Distributif
• Syok septik
• Syok anafilaktik
• Syok neurogenik
• Obat-obatan vasodilator
• Insufiensi adrenl akut

C. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik, 2000):
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
D. Pathway
Kehilangan Darah, Kehilangan Plasma, Kehilangan Cairan dan Elektrolit
Disritmia, Kegagalan Pompa Jantung, Disfungsi Katup Akut
Ruptur Septum Ventrikel

Sirkulasi darah arteri tidak adekuat

Mempengaruhi curah jantung, volume darah dan tonus vasomotor perifer

Jika salah satu dari curah jantung, volume darah dan tonus otot tidak dapat melakukan kompensasi

- Syok Hipovolemik
- Syok Kardiogenik
- Syok Neurogenik
- Syok Septik
- Syok Anafilaksis

Kegagalan akut fungsi sirkulasi

Gangguan mekanisme homeostadisi


E. Manifestasi Klinis (Mansjoer, 1999)
1. Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik <100mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah diketahui.
2. Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.
3. Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.
4. Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.
5. Asidosis metabolik.
Pemantauan hemodinamik :
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan vena sentral
3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP).
4. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.

F. Penatalaksanaan (Mansjoer, 1999)
Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
Untuk syok yang tidak terdiagnosis :
1. Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat
2. Pasang akses ke intravena
3. Mengembalikan cairan
4. Pertahankan produksi urine >0,5 ml/kgBB/jam

G. Derajat syok
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.


2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun)

H. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
• Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
• Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
• Riwayat infeksi (suhu tinggi)
• Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)
2. Pemeriksaan fisik
• Kulit
 suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
 Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
 Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
• Tekanan darah
 Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)

• Status jantung
 Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
• Status respirasi
 Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
• Status Mental
 Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, sopor sampai koma.
• Fungsi Ginjal
 Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
• Fungsi Metabolik
 Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
• Sirkulasi
 Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
• Keseimbangan Asam Basa
 Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
3. Pemeriksaan Penunjang
• Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
• Analisa gas darah
• EKG

I. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa macam syok.
A. Syok Kardiogenik
1. Definisi
Kardiogenik syok adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi pompa jantung. Definisi klinis di sini mencakup curah jantung yang buruk dan bukti adanya hipoksia dengan adanya volume darah intravaskular yang cukup. Syok terjadi jik kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan angka kematiannya lebih dari 80% (Mansjoer, 1999).

2. Etiologi (Anonim, 2007)
a. Gangguan fungsi miokard :
Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel kanan. Penyakit jantung arteriosklerotik. Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau kardiomiopati hipertropik.
b. Mekanis :
Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel
Aneurisma ventrikel masif
Obstruksi :
Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium
Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus, perikarditis/efusi perikardium.
c. Aritmia : Bradiaritmia/takiaritmia

3. Patofisiologi (Anonim, 2007)
Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas miokard, akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada kondisi kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun, hal ini akan memperburuk keadaan. Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, dan apabila "Cardiac Index" kurang dari 1,8 ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata. Hipoperfusi miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan menyebabkan semakin memperjelek keadaan, kerusakan miokard ditandai dengan kenaikan ensim kardial, serta peningkatan asam laktat.
Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2) tergantung pada transport oksigen (Supply dependent), hutang oksigen semakin besar (oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif resusitasi bertujuan menghilangan VO2 yang "supplay-dependent", "oxygen debt" dan asidosis. Di sisi lain dengan kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan tekanan kapiler pulmoral, selanjutnya diikuti dengan meningkatnya tekanan hidrostatis untuk tercetusnya edema paru, disertai dengan kenaikan "Pulmonary capilary wedge pressure" (PCWP), serta penurunan isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap hipotensi adalah vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR ("Sistimik Vaskuler Resistan") dan meninggikan "After load". Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup, peninggian SVR, LVEDP dan LVEDV.

4. Gambaran Klinik
Gambaran syok pada umumnya, seperti takikardi, oligouri, vasokontriksi perifer, asidosis metabolik merupakan gambaran klinik pada kardiogenik syok. Arythmia akan muncul dalam bentuk yang bervariasi yang merupakan perubahan ekstrem dari kenaikan denyut jantung, ataupun kerusakan miokard. Dengan adanya kerusakan miokard, enzim-enzim kardiak pada pemeriksaan laboratorium akan meningkat.

Sebagian besar penderita kardiogenik syok dengan edema paru disertai naiknya PCWP, LVEDP (Left Ventrikel Diastolic Pressure). Edema paru akan mencetuskan dyspnoe yang berat ditunjukkan dengan meningkatnya kerja nafas, sianosis, serta krepitasi. Sedang kardiogenik syok yang tidak tertangani akan diikuti gagal multi organ, metabolik asidosis, kesadaran yang menurun sampai koma, yang semakin mempersulit penanganannya.

5. Diagnosis
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vascular sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya pada IM inferior, dapat terjadi bradikardia, Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
a. Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
b. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
c. Tekanan diatrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal redah sampai meninggi.
d. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
e. Resistensi sistemis.
f. Asidosis

6. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi abnormal, tanpa menyebabkan peninggian kebutuhan oksigen miokard. Oleh karena jantung yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan after load, tahanan vaskuler sistimik harus dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting adalah mempertahankan pre load optimal. Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik, optimalisasi O2 "miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.
a. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta pengobatan terhadap arrythia. Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok berulang, lakukan intubasi dan mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan penggunaan PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang berat.
b. Monitoring
1) Pengukuran tekanan arteri
• Pengukuran tekanan vena dengan CVP
• Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status mental penderita sebagai petunjuk perfusi jaringan.
2) Penilaian lain :
• EKG dan ensim kardial
• AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
Hb, elektrolit, ureum, creatinin.
c. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1) Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan status volume plasma.
2) Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan untuk menurunkan, serta tetap normotensip setelah loading cairan. Untuk memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan "mechanical circulatory assistance".

d. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya tidak memberatkan anoksia serebral. Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan bantuan pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah. Pasang alat pantau jantung dan tensi serta masukkan jalur arteri (arterial line) dengan pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter Swan – Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP), tekanan kapiler baji paru (TBKP) dan curah jantung. Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).

7. Pengobatan
a. Bila karena aritmia. Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia atrium paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi (DC shock). Pada bradiaritmia diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit atau dengan pace maker.
b. Gangguan mekanis. Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular dan aneurisma, dilakukan operasi.
c. Obstruksi aliran masuk (inflow). Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin dan kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang terbaik untuk curah jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi aliran masuk oleh miksoma atau trombus, yang masih mobil di atrium kiri. Kalau perlu dilakukan operasi
d. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik. Memerlukan vasodilator (arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain). Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan untuk melakukan operasi.
e. Gangguan kontraktilitas.
1) Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100 cc/5-10 menit, lalu tekanan darah diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau tekanan darah. Perhatikan juga apakah pasien tambah sesak dan ronki basah di paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan. Dengan pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan memberikan cairan lebih cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3 cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah meninggi, berarti cairan perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta ronki juga bertambah, maka cairan dihentikan (Raharjo, S., (1997). Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz, perhatikan tekanan atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru (TKBP).
Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18 mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK 12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan. Pemberian cairan harus meninggikan tekanan darh dan menambah curah jantung serta indeks jantung.
2) Obat-obatan
• Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan O2 miokard, sehingga tidak dapat memperluas infark jantung. Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5% atau Metaraminol. Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan, karena aliran darah ginjal dapat bertambah.
• Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner. Na Nitroprusside mengurangi prabeban dan pasca beban (pre & afterload). Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit. Captopril juga mengurangi prabeban dan pasca beban.
• Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya pada takikardia.
• Diuretik. Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
• Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan.
f. Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah. Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu noradrenalin atau metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila mungkin diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas agak dingin, sebagai vasopresor dipakai Dopamin. Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam laktat pasti meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan darah turun maka volum ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan Dopamin
g. Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan after load.
1) Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin, secara umum akan menaikkan tekanan arteri, perfusi koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi perifer. Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan potensial menimbulkan arrythmia.
2) Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke 3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan aliran darah dan tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada kardiogenik syok.
3) Dopamin
Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa dan dopaminergik. Dopamin juga mempunyai efek "tyramine like" yang akan menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin terhadap jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang pada dosis melebihi 10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistimik dan tekanan venosa, oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi miokard.
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 – 2 mcg/kgBB/menit. Takikardi berlebihan, yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang digunakan sebagai pembanding. Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah umumnya menandakan terdapat hipovolemia. Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 2–40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
4) Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio terapi yang rendah, sehingga kurang effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
5) Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard. Shoemaker, 1989, penggunaan vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding penggunaan pada gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler begitu berat. Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal ventrikel kiri dan syok setelah infark miokard. Dosis awal 10 mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.
Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena, dengan mula kerja yang cepat, dosis 10-40 mcg/kgBB/menit. Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa keadaan kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk mendapatkan status hemodinamika yang baik.
h. Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
1) IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi dengan EKG pada aorta. Balon dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat aliran koroner, perfusi koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan menurunkan tekanan aorta dan ventrikel "after load". Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
2) VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak menunjukkan manfaat. Apabila PCWP, curah jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada kardiogenik syok.

B. Syok Neurogenik
1. Definisi
Syok neurogenik merupakan kegagalan pusat vasomotor sehingga terjadi hipotensi dan penimbunan darah pada pembuluh tampung (capacitance vessels). Syok neurogenik terjadi karena hilangnya tonus pembuluh darah secara mendadak di seluruh tubuh (Corwin, 2000).
Syok neurogenik juga disebut sinkope. Syok neurogenik terjadi karena reaksi vasovagal berlebihan yang mengakibatkan vasodilatasi menyeluruh di regio splanknikus sehingga perdarahan otak berkurang. Reaksi vasovagal umumnya terjadi pada suhu lingkungan yang panas, terkejut, takut atau nyeri (Jong, 2004).

2. Etiologi
Penyebab utamanya adalah trauma medula spinalis dengan quadriplegia atau paraplegia (syok spinal). Syok pada trauma medula spinalis lebih banyak disebabkan oleh hipovolemia karena trauma abdomen atau rongga toraks.
Penyebab lain :
a. Rangsangan hebat yang kurang menyenangkan seperti rasa nyeri hebat pada fraktur tulang.
b. Rangsangan pada medula spinalis seperti penggunaan obat anestesi spinal.
c. Trauma kepala (terdapat gangguan pada pusat otonom)
d. Syok neurogenik bisa juga akibat letupan rangsangan parasimpatis ke jantung yang memperlambat kecepatan denyut jantung dan menurunkan rangsangan simpatis ke pembuluh darah. Misalnya pingsan mendadak akibat gangguan emosional

3. Manifestasi Klinis (Tambunan, 1990)
Mirip dengan analgesia spinal tinggi. Berbeda dengan syok hipovolemik, walaupun tekanan darah turun, nadi tidak bertambah cepat, malahan dapat lebih lambat (bradikardi). Sedangkan pada keadaan lanjut, sesudah pasien menjadi tidak sadar, barulah nadi bertambah cepat. Karena terjadinya pengumpulan darah di dalam arteriol, kapiler dan vena, maka kulit terasa agak hangat dan cepat berwarna kemerahan.

4. Diagnosis
Tanda dan gejala serupa dengan syok hipovolemik tapi kelainan neurologik seperti quadriplegia atau paraplegia harus ada.

5. Diagnosis Banding
Diagnosis bandingnya syok neurogenik adalah vasovagal. Keduanya sama-sama menyebabkan hipotensi karena kegagalan pusat pengaturan vasomotor tetapi pada sinkop vasovagal hal ini tidak sampai menyebabkan iskemia jaringan menyeluruh dan menimbulkan gejala syok.

6. Penatalaksanaan (Tambunan, 1990)
a. Baringkan pasien dengan posisi kepala lebih rendah dari kaki (posisi Trendelenburg).
b. Bila tekanan darah dan perfusi perifer tidak segera pulih, berikan obat-obat vasopresor (adrenergik; agonis alfa yang indikasi kontra bila ada perdarahan seperti ruptur lien) :
• Dopamin (dosis diatas 10-20 Ug/kgBB/menit)
• Fenileferin (dosis 10 Ug/menit atau 0,25 ml/menit iv)
• Noradrenalin (dosis 2-4 ampul dalam 500 cc cairan infus)
 Pada pemberian subkutan, diserap tidak sempurna jadi sebaiknya diberikan per infus.
 Obat ini merupakan obat yang terbaik karena pengaruh vasokonstriksi perifernya lebih besar dari pengaruh terhadap jantung (palpitasi). Pemberian obat ini dihentikan bila tekanan darah sudah normal kembali.
 Awasi pemberian obat ini pada wanita hamil, karena dapat menimbulkan kontraksi otot-otot uterus.
Adrenalin (dosis 0,1-0,5 cc subkutan atau im).
 Pada pemberian subkutan atau im, diserap dengan sempurna dan dimetabolisme cepat dalam badan.
 Efek vasokonstriksi perifer sama kuat dengan pengaruhnya terhadap jantung.
 Sebelum pemberian obat ini harus diperhatikan dulu bahwa pasien tidak mengalami syok hipovolemik.
 Perlu diingat obat yang dapat menyebabkan vasodilatasi perifer tidak boleh diberikan pada pasien syok neurogenik.
c. Pertahankan jalan nafas dengan memberikan oksigen.
d. Obat-obat lain tergantung dari kasus dan penyebabnya.
e. Pemberian cairan kalau perlu dengan pengawasan.



C. Syok Anafilaksis
1. Definisi
Reaksi syok anafilaksis adalah terjadinya reaksi renjatan (syok) yang memerlukan tindakan emergency karena bisa terjadi keadaan yang gawat bahkan bisa menimbulkan kematian. Kalangan awam menerjemahkan keracunan, padahal sesungguhnya adalah resiko dari tindakan medis atau penyebab lain yang disebabkan faktor imunologi. Perlu diingat bahwa reaksi alergi tidak semata ditentukan oleh jumlah alergen, namun pada kenyataannya setiap pemberian obat tertentu (umumnya antibiotika secara parenteral) dilakukan test kulit untuk melihat ada tidaknya reaksi alergi (Anonim, 2006).
Dikatakan “medical error” apabila nyata-nyata seseorang yang mempunyai riwayat alergi obat tertentu tetapi masih diberikan obat sejenis. Karena itu penting untuk memberikan penjelasan dan cacatan kepada penderita yang mempunyai riwayat alergi, agar tidak terjadi reaksi syok anafilaksis.

2. Penyebab (Anonim, 2006) :
a. Obat-obatan:
• Protein: Serum heterolog, vaksin,ektrak alergen
• Non Protein: Antibiotika,sulfonamid, anestesi lokal, salisilat.
b. Makanan: Kacang-kacangan, mangga, jeruk, tomat, wijen, ikan laut, putih telor, susu, coklat, zat pengawet.
c. Lain-lain: Olah raga, berlari, sengatan (tawon, semut)
3. Reaksi Tubuh:
a. Lokal: Urtikaria, angio-edema
b. Sistemik:
• Kulit/mukosa: konjungtivitis,rash,urtikaria
• Saluran napas: edema laring, spasme bronkus
• Kardiovaskuler: aritmia
• Saluran cerna: mual, muntah, nyeri perut, diare
4. Derajat Alergi:
a. Ringan:
Rasa tidak enak, rasa penuh di mulut, hidung tersumbat, edema pre-orbita, kulit gatal, mata berair.
b. Sedang:
Seperti di atas, ditambah bronkospasme
c. Berat (syok):
• Gelisah, kesadaran menurun
• Pucat, keringat banyak, acral dingin
• Jantung berdebar, nyeri dada, takikardi, takipneu
• Tekanan darah menurun, oliguri
5. Penatalaksanaan Reaksi Alergi (Anonim, 2006)
a. Ringan:
Stop alergen, beri Antihistamin
b. Sedang:
• Seperti di atas di tambah: aminofilin atau inj. Adrenalin 1/1000 0,3 ml sc/im, dapat diulang tiap 10-15 menit sampai sembuh, maksimal 3 kali.
• Amankan jalan nafas, Oksigenasi.
c. Berat:
• Seperti sedang ditambah: posisi terlentang, kaki di atas
• Infus NaCl 0,9% / D5%
• Hidrokortison 100 mg atau deksametason iv tiap 8 jam
• Bila gagal: beri difenhidramin HCl 60-80 mg iv secara pelan > 3 menit
• Jika alergen adalah suntikan, pasang manset di atas bekas suntikan (dilepas tiap 10-15 menit) dan beri adrenalin 0,1-0,5 ml im pada bekas suntikan
• Awasi tensi, nadi, suhu tiap 30 menit
• Setelah semua upaya dilakukan, jika dalam 1 jam tidak ada perbaikan rujuk ke RS

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN SYOK

A. PENGKAJIAN
Pengkajian menurut Gleadle (2005).
Syok adalah manifestasi klinis yang penting. Syok harus segera dikenali dan diagnosis penyebabnya harus langsung ditegakkan secara akurat. Definisi syok adalah tidak cukupnya perfusi pada organ-organ vital. Bisa menimbulkan manifestasi tidak spesifik seperti malaise, pusing, pingsan dengan gejala dari penyebab yang mendasari. Etiologi tersering antara lain adalah hipovolemia (misalnya akibat perdarahan gastrointestinal), syok kardiogenik (akibat MI), emboli paru, anafilaksis, cedera intraabdomen, dan septikemia.

Anamnesis
Kapan awal penyakit? Apa gejala?
Pernahkah ada nyeri dada, hemoptisis, atau sesak napas?
Adakah gejala yang menunjukkan penurunan volume?
Pernahkah terpajan alergen potensial (misalnya makanan, obat, bisa ular)?
Adakah gejala yang menunjukkan septikemia (misalnya demam, menggigil, berkeringat, infeksi lokak)?
Dapatkan anamnesis tambahan dari kerabat, khususnya jika pasien sakit sangat berat dan tidak mampu memberikan anamnesis yang jelas.

Riwayat penyakit dahulu
Adakah riwayat episode syok sebelumnya?
Adakah riwayat penyakit jantung yang serius sebelumnya (misalnya MI)?
Adakah riwayat imunosupresi?
Adakah riwayat kelainan abdomen yang diketahui?

Obat-obatan
Apakah pasien sedang mengkonsumsi atau baru saja mengkonsumsi kortikosteroid?
Apakah pasien mengkonsumsi obat dengan potensi anafilaktik?
Adakah kemungkinan overdosis obat kardiodepresan?

Alergi
Adakah alergi pada pasien yang diketahui?

Seperti pada pasien lain yang sakit berat, pastikan jalan napas terjaga, pasien bernapas adekuat, dan lakukan pemeriksaan fisik lengkap. Khususnya, periksa tanda-tanda syok.
 Denyut nadi : takikardia atau bahkan bradikardia.
 TD : menurun dengan perubahan posisi jika tidak hipotensif
 Warna kulit (pucat) dan suhu.
 Keluaran urin berkurang

Adanya syok memerlukan terapi segera, serta tegakkan diagnosis akurat. Periksa dengan teliti status hidrasi :
 Periksa turgor kulit
 Periksa membran mukosa
 Periksa JVP (mungkin memerlukan pemeriksaan CVP atau PCWP)
 Periksa denyut nadi

Periksa semua kemungkinan sumber kehilangan volume
Periksa tanda-tandan penyakiy jantung atau pernapasan mayor, gesekan pleura, tanda kussmaul, sianosis, atau peningkatan laju pernapasan.
Periksa dengan teliti tanda-tanda atau sumber sepsis dan patologi abdomen (misalnya konsolidasi paru, meningmus, nyeri lepas, tahanan, dan ileus).
Periksa tanda-tanda yang sesuai dengan reaksi anafilaktik : ruam, edema oral dan laring, serta stridor.
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cepat sambil memberikan terapi antara lain :
 Oksigen
 Jalur intravena
 Cairan intravena
 Antibiotik intravena
Dan pemeriksaan penunjang yang termasuk :
 EKG (dan pemantauan EKG)
 Analisis gas darah
 Rontgen toraks
 Kultur darah

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul pada pasien antara lain (Santosa, 2005):
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja ventrikular, kerusakan ventrikular.
2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan mekanisme pengaturan.
3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui alveolar dan membran kapiler, hipoventilasi

C. INTERVENSI
Intervensi menurut Wilkinson (2006)
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja ventrikular, kerusakan ventrikular.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keefektifan pompa jantung : tingkat pemompaan darah dari ventrikel kiri per menit untuk mendukung tekanan perfusi sistemik.
b. Status Sirkulasi : \tingkat pengaliran darah tanpa terhambat, satu arah, dan pada tekanan yang sesuai melalui vena-vena besar dari aliran sistemik dan pulmonal.
c. Perfusi Jaringan : Organ Abdomen : tingkat pengaliran darah dari vena-vena kecil dari visera abdomen dan mempertahankan fungsi organ.
d. Perfusi Jaringan : Perifer : tingkat pengaliran darah melalui vena-vena kecil dari ekstremitas dan mempertahankan fungsi jaringan.
e. Status tanda vital : suhu, nadi, respirasi, dan tekanan darah dalam rentang yang diharapkan dari individu.

Intervensi Prioritas NIC :
a. Perawatan Jantung :pembatasan komplikasi yang diakibatkan dari ketidakseimbangan antara suplai oksigen dan kebutuhan pasien.
b. Regulasi Hemodinamik : optimalisasi denyut jantung. Preload, afterload, dan kontraktilitas.
c. Penatalaksanaan Syok : Jantung : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan untk pasien dengan gangguan fungsi pompa jantung yang berat.

Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Regulasi hemodinamik
b. Kaji toleransi aktivitas pasien
c. Evaluasi respon pasien terhadap terapi oksigen.

Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :
a. Jelaskan tujuan pemberian oksigen
b. Ajarkan penggunaan, dosis, frekuensi dan efek samping.
c. Instruksikan tentang mempertahankan keakuratan asupan dan haluaran.

Aktivitas Kolaboratif :
a. Berikan antikoagulan untuk mencegah pembentukan trombus perifer.
b. Tingkatkan penurunan afterload sesuai dengan program medis.

Aktivitas lain :
a. Ubah posisi pasien ke telentang.
b. Jangan mengukur suhu dari rektum.
c. Regulasi Hemodinamik (NIC) : minimalkan stresor lingkungan.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan mekanisme pengaturan.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa : keseimbangan elektrolit dan non elektrolit dalam ruang intrasel.
b. Keseimbangan Cairan : keseimbangan air dalam ruang intrasel dan ekstrasel tubuh.
c. Status Nutrisi : Asupan Makanan dan Cairan : jumlah makanan dan cairan yang masuk dalam tubuh selama 24 jam.

Intervensi Prioritas NIC :
a. Pengelolaan Elektrolit : peningkatan keseimbangan elektrolit dan pencegahan komplikasi akibat dari kadar elektrolit serum yang tidak normal.
b. Pengelolaan Cairan : peningkatan keseimbangan cairan dan pencegahan komplikasi akibat dari kadar cairan yang tidak normal.
c. Pengelolaan Syok, Volume : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan untuk pasien dengan gangguan volume intravaskular yang berat.

Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Pantau warna, jumlah dan frekuensi kehilangan cairan
b. Pantau perdarahan.
c. Tinjau ulang elektrolit, terutama natrium, kalium, klorida, dan kreatinin
d. Kaji adanya vertigo atau hipotensi postural.

Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :
a. Anjurkan pasien untuk menginformsikan perawat bila haus.

Aktivitas Kolaboratif :
a. Laporkan dan catat haluaran kurang dari......... ml.
b. Laporkan dan catat haluaran lebih dari........... ml.
c. Pengaturan cairan (NIC) : Berikan terapi IV sesuai dengan anjuran.

Aktivitas lain :
a. Bersihkan mulut secara teratur.
b. Tentukan jumlah cairan yang masuk dalam 24 jam
c. Pengaturan Cairan (NIC) : pasang kateter urine, berikan cairan bila perlu

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui alveolar dan membran kapiler, hipoventilasi.
Hasil yang disarankan NOC:
a. Keefektifan pompa jantung ; tingkat pengeluaran darah dari ventrikel kiri per menit untuk mendukung tekanan perfusi sistemik.
b. Perfusi Jaringan : Jantung : tingkat pengaliran darah melalui pembuluh darah koroner dan mempertahankan fungsi jantung.
c. Status tandan-tanda Vital : suhu tubuh, nadi, respirasi, dan tekanan darah dalam batas yang diharapkan.

Intervensi Prioritas NIC :
a. Perawatan Sirkulasi : peningkatan sirkulasi arteri dan vena.
b. Pemantauan respirasi : pengumpulan dan analisis data pasien untuk memastikan potensi jalan napas serta keadekuatan pertukaran gas.
c. Penatalaksanaan Syok : Jantung : peningkatan keadekuatan perfusi jaringan, untuk pasien dengan masalah fungsi pompa jantung yang serius.

Aktivitas Keperawatan :
Pengkajian :
a. Pantau nyeri dada
b. Observasi adanya perubahan segmen ST pada EKG
c. Pantau frekuensi nadi

Pendidikan untuk Pasien/Keluarga :
a. Ajarkan pasien dan keluarga untuk menghindari melakukan menuver Valsalva (mengejan saat defekasi).
b. Jelaskan pembatasan asupan kafein, natrium, kolesterol, dan lemak.
c. Jelaskan alasan makan porsi sedikit tetapi sering.

Aktivitas Kolaboratif :
a. Berikan pengobatan berdasarkan permintaan atau protokol yang berlaku (misalnya analgesik, vasodilator, diuretik, dan kontraktilitas/inotropik positif)

Aktivitas lain :
a. Beri jaminan penggunaan bel, lampu dan pintu yang terbuka akan direspon dengan segera.
b. Tingkatkan istirahat.
c. Jangan melakukan pengukuran suhu tubuh rektal.

D. EVALUASI
Evaluasi menurut Wilkinson (2006)
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan hipovolemia, peningkatan beban kerja ventrikular, kerusakan ventrikular.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a. Menunjukkan curah jantung yang memuaskan.
b. Menunjukkan status sirkulasi dengan indikator : tekanan darah, denyut jantung, gas darah, bunyi napas, status kognitif.
c. Pasien akan mempunyai indeks jantung dan fraksi ejeksi
d. Mengidentifikasi tanda dan gejala yang dapat dilaporkan dari kondisi yang memburuk.

2. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan aktif dan kegagalan mekanisme pengaturan.
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a. Kekurangan volume cairan akan teratasi, dibuktikan dengan keseimbangan cairan, elektrolit dan Asam-Basa.
b. Keseimbangan Elektrolit dan Asam-Basa akan dicapai

3. Ketidakefektifan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan transport oksigen melalui alveolar dan membran kapiler, hipoventilasi
Tujuan/Kriteria Evaluasi:
a. Menunjukkan keefektifan pompa jantung, perfusi jaringan jantung dan perifer.
b. Menunjukkan status sirkulasi : ditandai dengan indikator berikut : tekanan darah normal, tidak ada edema perifer dan asites, tidak ada bunyi angina, tidak ada hipotensi ortostatik.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Syok Anafilaksis, Online (terdapat pada) : http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaksis/
Anonim, 2007, Syok Kardiogenik, Online (terdapat pada):http://medlinux.blogspot.com/2007/09/syok-kardiogenik.html
Ashadi, T., 2001, Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) Pada Syok Hipovolemik, Online (terdapat pada) : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/sek-1.htm
Corwin, EJ., 2000., Buku Saku Patofi siologis., EGC., Jakarta.
Gleadle, J., Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Erlangga, Jakarta
Jong, W. D., 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Komite Medik RSUP Dr. Sardjito., 2000., Standar Pelayanan Medis., Ed Ketiga., Medika., Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada., Yogyakarta
Mansjoer, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta
Tambunan, K., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta

STROKE

ASUHAN KEPERAWATAN PADA STROKE
HEMORAGIK DAN NON HEMORAGICK

A. PENGERTIAN
WHO (1997) stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)
Stroke adalah suatu gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada pembuluh darah serebral, misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vascular dasar, misalnya aterosklerosis, arteritis, trauma, aneurisma dan kelainan perkembangan (Sylvia A. Price, 1995).
Stroke adalah awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis pembuluh darah karena embolisme, trombosis, atau hemoragi, yang mengakibatkan iskemia otak (Susan Martyn Tucker, 1996).
Dari beberapa pendapat tentang stroke diatas, maka dapat diambil Akesimpulan bahwa pengertian stroke adalah gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga aliran darah ke otak menurun yang terjadi secara mendadak.

Stroke dibagi menjadi dua :
1. Stroke Non Haemoragik
Yaitu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah, pandangan kabur dan dysfhagia. Stroke non haemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik.

2. Stroke Haemoragik
Yaitu suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk.

B. ETIOLOGI
1. Stroke Non Haemoragik
a. Trombosis
Trombosis merupakan penyebab stroke paling sering. Trombosis ditemukan pada 40% dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh para ahli patologi. Biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis
b. Embolus
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dan merupakan 5-15% dari berbagai penyebab utama stroke. Dari penelitian epidemiologi (community based) didapatkan bahwa sekitar 50% dari semua serangan iskemia otak, apakah yang permanen atau yang transien, diakibatkan oleh komplikasi trombotik atau embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar atau sedang; dan sekitar 25% disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil di intra cranial dan 20% oleh emboli dari jantung (Lumbantobing, 2001). Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu thrombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung.

2. Stroke Haemoragik
a. Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab kasus gangguan pembuluh darah otak dan merupakan persepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteria serebri
b. Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita biasanya masih muda dan 20% mempunyai lebih dari satu aneurisme. Dan salah satu dari ciri khas aneurisme adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang (Sylvia A. Price, 1995)

c. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan).
- Trombosis sinus dura
- Diseksi arteri karotis atau vertebralis
- Vaskulitis sistem saraf pusat
- Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
- Migran
- Kondisi hyperkoagulasi
- Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin)
- Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
- Miksoma atrium.

3. Faktor Resiko :
- Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria.
- Yang dapat diubah : hypertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan obat dan alcohol, hematokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis, hyperurisemia dan dislidemia.

C. PATOFISIOLOGI
Suatu manifestasi neurologi yang umum dan timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak. Definisi lain menyatakan bahwa stroke adalah disfungsi neurologi akut disebabakan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Sedangkan stroke hemoragik adalah Stroke yang terjadi karena perdarahan subarachnoid, mungkin disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu. Biasanya terjadi saat pasien melakukan aktifitas atau saat aktif tetapi bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
Tahapan patofisologi terjadinya stroke adalah kerusakan pembuluh darah otak, pembuluh darah tidak mampu mengalirkan darah atau pembuluh darah pecah dan bagian otak yang memperoleh darah dari pembuluh yang rusak tadi fungsinya menjadi terganggu hingga timbul gejala-gejala stroke.
Tahapan tersebut tidak terjadi dalam waktu singkat.Pada tahap pertama dimana dinding pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak mula-mula terkena berupa aterosklerosis pada pembuluh-pembuluh yang kecil. Penebalan dinding pembuluh darah ini terjadi berangsung-angsur dan diakibatkan oleh hipertensi, DM, peninggian kadar asam urat atau lemak dalam darah, perokok berat dll.
Proses penebalan timbul berangsur-angsur dalam waktu beberapa tahun atau akhirnya suatu saat terjadi sumbatan dimana aliran darah yang terjadi cukup ditolerir oleh otak. Akhirnya karena sempitnya lumen pembuluh darah tersebut tidak cukup lagi memberi darah pada pembuluh darah otak ini menyebabkan kerapuhan dan pembuluh darah menjadi pecah dan timbul perdarahan. Pada saat dimana pembuluh darah tersebut pecah atau tersumbat hingga aliran darah tidak cukup lagi memberi darah lalu timbul gejala-gejala neurologik berupa kelumpuhan, tidak bisa bicara atau pingsan, diplopia secara mendadak.
Sumbatan pembuluh darah otak dapat juga terjadi akibat adanya bekuan-bekuan darah dari luar otak (jantung atau pembuluh besar tubuh) atau dari pembuluh darah leher (karotis) yang terlepas dari dinding pembuluh tersebut dan terbawa ke otak lalu menyumbat. Karena fungsi otak bermacam-macam, maka gejala stroke juga timbul tergantung pada daerah mana otak yang terganggu. Penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah secara mendadak dapat menimbulkan gejala dan tanda-tanda neurologik yang memiliki sifat, mendadak, tidak ada gejala-gejala dini atau gejala peningkatan dan timbulnya iskemi atau kerusakan otak,gejala neurologik yang timbul selalau terjadi pada satu sisi badan, gejala-gejala klinik yang timbul mencapai maksimum beberapa jam setelah serangan. Umumnya kurang dari 24 jam, jadi misalnya pagi hari serangan stroke timbul berupa kelemahan pada badan sebelah kanan kemudian berangsur-angsur menjadi lumpuh sama sekali. Pada malam harinya tidak pernah terjadi kelemahan yang berangsur-angsur menjadi lumpuh maka penyebabnya adalah bukan penyakit primer pada pembuluh darah otak tetapi oleh sebab lain misalnya tumor yang menekan pembuluh darah otak. Keadaan ini disebut “stroke syndrome”.

D. TANDA DAN GEJALA
1 Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral :
- Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
- Peningkatan refleks tendon
- Ataksia
- Tanda babinski
- Tanda-tanda serebral
- Disfagia
- Disartria
- Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
- Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
- Muka terasa baal.
2 Arteri Karotis Interna
- Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
- Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
3 Arteri Serebri Anterior
- Gejala paling primer adalah kebingungan
- Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
- Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
- Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
- Gangguan sensorik kontra lateral
- Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
4 Arteri Serebri Posterior
- Koma
- Hemiparesis kontralateral
- Afasia visual atau buta kata (aleksia)
- Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis
5 Arteri Serebri Media
- Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
- Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
- Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
- Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi
- Disfagia

E. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1 Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.

2 Blood (Tekanan Darah)
- Usahakan otak mendapat cukup darah.
- Jangan terlalu cepat menurunkan tekanan darah pada masa akut.

3 Brain (fungsi otak)
- Atasi kejang yang timbul.
- Kurangi edema otak dan tekanan intra cranial yang tinggi.

4 Bladder (kandung kemih)
- Pasang katheter bila terjadi retensi urine

5 Bowel (Pencernaan)
- Defekasi supaya lancar.
- Bila tidak bisa makan per-oral pasang NGT/Sonde.

b. Menurunkan kerusakan sistemik.
Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversible inti sentral jaringan otak. Di sekitar zona jaringan yang mati mungkin ada jaringan yang masih harus diselamatkan. Tindakan awal yang harus difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik. Tiga unsur yang paling penting untuk area tersebut adalah oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen dapat dipantau melalui gas-gas arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika ada indikasi. Hypoglikemia dapat dievaluasi dengan serangkaian pemeriksaan glukosa darah.

c. Mengendalikan Hypertensi dan Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Kontrol hipertensi, TIK dan perfusi serebral dapat membutuhkan upaya dokter maupun perawat. Perawat harus mengkaji masalah-masalah ini, mengenalinya dan memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Pasien dengan hypertensi sedang biasanya tidak ditangani secara akut. Jika tekanan darah lebih rendah setelah otak terbiasa dengan hypertensi karena perfusi yang adekuat, maka tekanan perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan darah diastolic diatas kira-kira 105 mmHg, maka tekanan tersebut harus diturunkan secara bertahap. Tindakan ini harus disesuaikan dengan efektif menggunakan nitropusid.
Jika TIK meningkat pada pasien stroke, maka hal tersebut biasanya terjadi setelah hari pertama. Meskipun ini merupakan respons alamiah otak terhadap beberapa lesi serebrovaskular, namun hal ini merusak otak. Metoda yang lazim dalam mengontrol PTIK mungkin dilakukan seperti hyperventilasi, retensi cairan, meninggikan kepala, menghindari fleksi kepala, dan rotasi kepala yang berlebihan yang dapat membahayakan aliran balik vena ke kepala. Gunakan diuretik osmotik seperti manitol dan mungkin pemberian deksamethasone meskipun penggunaannya masih merupakan kontroversial.

d. Terapi Farmakologi
Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragik, meskipun heparinisasi pada pasien stroke iskemik akut mempunyai potensi untuk menyebabkan komplikasi haemoragik. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR) menawarkan alternatif pada penggunaan heparin dan dapat menurunkan kecendrungan perdarahan pada penggunaannya. Jika pasien tidak mengalami stroke, sebaliknya mengalami TIA, maka dapat diberikan obat anti platelet. Obat-obat untuk mengurangi perlekatan platelet dapat diberikan dengan harapan dapat mencegah peristiwa trombotik atau embolitik di masa mendatang. Obat-obat antiplatelet merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragi seperti pada halnya heparin.

e. Pembedahan
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita stroke. Sulit sekali untuk menentukan penderita mana yang menguntungkan untuk dibedah. Tujuan utama pembedahan adalah untuk memperbaiki aliran darah serebral.
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak. Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti hypertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernapasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.

F. KOMPLIKASI
1. TIK meningkat
2. Aspirasi
3. Atelektasis
4. Kontraktur
5. Disritmia jantung
6. Malnutrisi
7. Gagal napas

G. PENCEGAHAN
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pembatasan makan garam; dimulai dari masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa garam atau makanan bayi rendah garam.
2. Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan darah selama tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat penenang berlebihan dan istirahat ditempat tidur yang terlalu lama.
3. Peningkatan kegiatan fisik; jalan setiap hari sebagai bagian dari program kebugaran.
4. Penurunan berat badan apabila kegemukan
5. Berhenti merokok
6. Penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok, karena resiko timbulnya serebrovaskular pada wanita yang merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16 kali dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan pil kontrasepsi.
H. Patway
MEKANISME TERJADINYA STROKE

NON HEMORAGIK HEMORAGIK
Fragmen Arterosklerosis Plak, ateromentosa Hipertensi/terjadi
Sinus karotis, perdarahan
Arteri karotis interna
Trombus Aneurisma

Ruptur arteri cerebri

Ekstravasasi darah diotak/
Subarachnoid

Vasospasme arteri

Menyebar ke hemisfer otak & sirkulus Willisi
Emboli

Penurunan perfusi otak


iskemia


Metabolisme laktat Aktifitas elektrolit terhenti

Asidosia metabolik


vasodilatasi PD Pompa Na+, K+ gagal


jaringan malami Edema otak syok
reaksi dan pergeseran
nyeri

Perfusi otak menurun
Nyeri kepala nekrosis jatringan otak

kerusakan sel neuron

Kesadaran menurun

Penurunan fungsi motorik penurunan fungsi sensorik
Fungsi otot sfingter tidak normal

Kelumpuhan


imobilisasi



I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)

1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Susan Martin Tucker, 1998)
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus, gangguan kejang, kelainan neurologis, kanker, stroke, retardasi mental.
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.

7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b) Pola nutrisi dan metabolisme. Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
c) Pola eliminasi. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
e) Pola tidur dan istirahat. Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f) Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h) Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
i) Pola reproduksi seksual. Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
j) Pola penanggulangan stress. Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/ kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaran
b) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara
c) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
2) Pemeriksaan integumen
a) Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
b) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
c) Rambut : umumnya tidak ada kelainan
3) Pemeriksaan kepala dan leher
a) Kepala : bentuk normocephalik
b) Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
c) Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
4) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
5) Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
6) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
7) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan neurology
a) Pemeriksaan nervus cranialis : Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
b) Pemeriksaan motorik. Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
c) Pemeriksaan sensorik. Dapat terjadi hemiparestesi
d) Pemeriksaan refleks. Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiology
a) CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
b) MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)
c) Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)
d) Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998)
b) Pemeriksaan darah rutin
c) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
d) Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri.





2. Diagnosa Keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
Gangguan perfusi jaringan Cerebri berhubungan dengan Oklusi, Perdarahan intra cerebral. Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil :
- Klien tidak gelisah
- Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
- GCS 456
- Pupil isokor, reflek cahaya (+)
- Tanda-tanda vital normal (nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit)
1. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika klien sadar
2. Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, kebutuhan lapang
3. Tentukan factor penyebab gangguan
4. Anjurkan kepada klien untuk bed rest totat
5. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
6. Monitor status neurology
7. Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya
8. Posisi kepala ditinggikan sedikit dengan posisi netral (hanya tempat tidurnya saja yang ditinggikan ).
9. Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
10. Kolaborasi : Oksigen sesuai indikasi, Obat anti fibrolisis, Obat antihipertensi.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: kurang dari yang dibutuhkan b.d intake
yang tidak adequat
1. Monitor/obs tanda-tanda vital, nadi perifer, status membran mukosa, turgor kulit
2. Kaji dan monitor kelemahan neuromuskuler (ketidakmampuan menelan)
3. dentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pengeluran cairan (mis; panas, muntah)
4. Monitor/obs jumlah dan tipe cairan yang masuk dan ukur keluaran cairan dengan akurat
5. Monitor dan ukur keseimbangan cairan
6. Identifikasi rencana untuk meningkatkan/mempertahanakan keseimbangan cairan secara optimal (mis; jadwal masukan cairan)
7. Kolaborasi:
- Kaji hasil tes fungsi elektrolit dan ginjal
- Berikan obat-obatan sesuai intruksi (kalium)
- Pemberian cairan melalui IV
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil
- Tidak terjadi kontraktur sendi
- Bertambahnya kekuatan otot
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas 1. Ubah posisi klien tiap 2 jam
2. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit
3. Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit
4. Berikan papan kaki pada ekstremitas dalam posisi fungsionalnya
5. Tinggikan kepala dan tangan
6. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan sensori penurunan penglihatan
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
- Adanya perubahan kemampuan yang nyata
- Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
1. Tentukan kondisi patologis klien
2. Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
3. Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan telaten dan seksama
4. Observasi respon perilaku klien, seperti menangis, bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat.
5. Berbicaralah dengan klien secara tenang dan gunakan kalimat-kalimat pendek.
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d akumulasi skret sekunder
ketidakmampuan mengeluarkan skret karena kelemahan Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
1. Kaji dan monitor status pernafasan, kemampuan batuk dan mengeluarkan skret
2. Auskultasi bunyi nafas
3. Pertahankan kepatenan jalan nafas (posisi kepala dan leher netral anatomis, cegah fleksi leher)
4. Alih baring tiap 2 jam
5. Bila tidak ada kontraindikasi lakukan chest fisioterapi.
6. Bila perlu lakukan suction tergantung kemampuan pasien
7. Tingkatkan hidrasi (2000 ml/hari) bila tidak ada kontra indikasi.
8. Kolaborasi
Pemberian O2 – non rebreting
Cek AGD
Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak
Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal
Kriteria hasil
- Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
- Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
1. Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat.
2. Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi.
3. Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”.
4. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.
5. Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi.
6. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuaidengan kemampuan pasien.
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan
1. Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri.
2. Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh.
3. Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
4. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya.
5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi.
Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan kehilangan tonus kandung kemih, kehilangan kontrol sfingter, hilangnya isarat berkemih.
Klien mampu mengontrol eliminasi urinya
Kriteria hasil
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya
inkontinensia
- Tidak ada distensi bladder
1. Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering.
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam
3. Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
4. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan
5. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi).
Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
- Hb dan albumin dalam batas normal
1. Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
3. Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan.
4. Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.
5. Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
6. Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air.
7. Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
8. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan/kegiatan.
9. Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui selang.
Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
Klien tidak mengalami konstipasi
Kriteria hasil
- Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat
- Konsistensi faeces lunak
- Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )
- Bising usus normal ( 15-30 kali permenit )
1. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
2. Auskultasi bising usus.
3. Anjurkan pada klien untuk makan makananan yang mengandung serat.
4. Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi.
5. Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien.
6. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak faeces (laxatif, suppositoria, enema).
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
1. Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin.
2. Rubah posisi tiap 2 jam.
3. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol.
4. Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi.
5. Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
6. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit.



REFERENSI

1. Alexander Fawcett, Runciman. (2000). Nursing Practice Hospital and Home the Adult, Second edition, Toronto. Churchill Livingstone
2. Arjatmo Tjokronegoro & Henra utama. (2002). Update In Neuroemergencies. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
3. Bullock, Barbara (2000). Focus on pathophysiology. Philadelphia.
4. Black, JM., Matassin E. (2002). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of Care. JB. Lipincott.co
5. Brunner & Suddarth’s . (1999). Textbook of Medical – surgical nursing. Eighth Edition. Philadelphia. New York: Lippincortt.
6. Chris Winkelman. Neurological Critical Care. American journal Of Critical care. Nopember 2000-volume 9 Number 6.
7. Computed Tomography,diambil dari http:/en wiki/wikipedia/computed tomography.htm diambil tanggal 10 Februari 2006
8. Colmer, MR. (1995). Coronarys surgery for nurses. 16th ed. Livingstone.
9. Doenges, Marylinn E. (2002). Nursing care plan: guidelines for Planning and documenting patient care. 3rd ed. FA. Davis
10. Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis ; Pendekatan kritis, Edisi VI – Volume II. Jakarta: EGC
11. Jean A. Proehl, RN, MN, CEN, CCRN.1999. Emergency Nursing Prosedur. W.B Saunders Company: Philadelphia.
12. Joseph V, et.al.(2004). Intracranial pressure/ head elevation. Diambil 17 Februari 2006. http ://pedscm.wustl.edu/all_net/English/Neuropage/Protect/icp-Tx-3.htm
13. Luckman Sorensen,(1995).Medical Surgical Nursing, A PhsycoPhysiologic Approach, 4th Ed,WB Saunders Company, Phyladelpia
14. MRI,. (2004).Diambil dari http :/en.wiki/wikipedia/MRI.httml diambil tanggal 10 Februari 2006
15. Morton, P.G. (2005). Critical care nursing : a holistic approach. 8thedition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.
16. Pahria, Tuti SKp dkk (1994). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC
17. Procolla LeMode, Kaven M. Burke (1996). Medical surgical nursing. Addison Wesley. New York.
18. Thompson, et all. (1997). Clinical Nursing, Fourth edition. Mosby. California.
19. UNC Hospital. Intracranial Pressure Monitoring.(2005).Diambil 17 Februari 2006. www. intracranial pressure monitoring.
20. Vincent Thamburaj. Intracranial Pressure.(2005).Diambil 17 Februari 2006. http://www.Rhamburaj.com/assited_ventilation-in-neurosurgery.htm.
21. www.alsius.com . (2001) Europe sees a cooler future for brain-injuri patients & Research support new German approach to controlling fever
22. www.neurologyreviews.com .(2001) .Brain Cooling – A Hot Topic in Stroke.